Lanjut ke konten Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Psikiater Irma,SpKJ SIP Adalah seorang psikiater lulusan FK Universitas Indonesia tahun 2012. Menyelesaikan pendidikan dokternya di FK Unika Atma Jaya Jakarta tahun 2006. Saat ini selain berpraktek di Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat, beliau juga berpraktek di RS Hermina Tangerang dan RS Summarecon Serpong. Sebelumnya memiliki pengalaman kerja sebagai psikiater di RSUD Kota Tangerang, RS Mitra Keluarga Kalideres, RS IMC Bintaro, RS Medika BSD, dan Ciputra Hospital, Citra Raya Tangerang. Selain itu beliau juga pernah bertugas sebagai Asisten di Divisi Psikiatri Forensik FK Universitas Indonesia. Psikolog Klinis Maria Ayuningtias, Adalah seorang psikolog klinis lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini selain bertugas di Klinik Jiwa Sehat, beliau juga bertugas sebagai psikolog klinis di RS Siloam . Beliau juga merupakan Recruitment Consultant di beberapa perusahaan.
PantiRehabilitasi Mental Jiwa Sehat Ăśffnungszeiten heute. Komplek Taman Salvia, Jl. Palm Merah V, Blok BN No. 36, Serpong, Rawa Buntu, Tangerang Selatan, telefon
ďťżPemerintah belum memberikan dukungan sistem kepada perempuan dengan gangguan jiwa. Tidak ada upaya mengurangi stigma. Tidak menyediakan tempat tinggal dan tidak mengembalikan kapasitas hukum merekaJakarta ANTARA - Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat PJS Yeni Rosa Damayanti mengatakan bahwa pemerintah harus turun tangan dalam menangani permasalahan para perempuan dengan gangguan jiwa yang tinggal di panti-panti sosial yang tidak layak huni. "Pemerintah belum memberikan dukungan sistem kepada perempuan dengan gangguan jiwa. Tidak ada upaya mengurangi stigma. Tidak menyediakan tempat tinggal dan tidak mengembalikan kapasitas hukum mereka," katanya dalam seminar daring bertajuk "Perempuan-Perempuan Penghuni Panti Sosial" di Jakarta, Senin. Ia mengatakan kehadiran pemerintah dalam hal ini sangat penting karena para perempuan yang tinggal di panti-panti tersebut hidup dengan sangat tidak layak. "Mereka, perempuan dengan gangguan jiwa itu tinggal di suatu ruangan tertutup dengan penghuni puluhan orang dan hanya diperkenankan ke luar ruangan pada waktu makan," katanya. "Mereka tidur di bawah, dengan lantai beralas tikar dan tidak boleh ke luar ruangan selama 24 jam kecuali saat makan pagi, makan siang dan makan sore," tambahnya. Selain itu, katanya, ada juga panti yang menyediakan deretan ruangan kecil ukuran 1x2,5 meter yang dihuni satu orang per ruangan. Dalam ruangan itu ada selokan tempat penghuni bisa buang air kecil, makan dan tidur di tempat yang sama. Ia membandingkan kehidupan kaum perempuan dengan gangguan jiwa atau disabilitas mental ini dengan orang yang di penjara lantaran melakukan tindak pidana. "Yang berat bagi mereka, mereka tidak tahu kapan mereka ke luar panti. Itu lebih berat dari yang dialami tahanan atau napi," katanya. Menurut data PJS, tercatat ada 101 panti rehabilitasi mental di Indonesia yang sebagian besar berada di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Jumlah penghuni panti-panti tersebut mencapai orang yang 40 persen diantaranya merupakan perempuan. "Jadi sekitar perempuan hidup di panti-panti sosial ini," demikian Yeni Rosa Damayanti. Baca juga Petugas medis bebaskan seorang perempuan dari pasungan di Banyumas Baca juga Tiga orang ODGJ meninggal dunia di panti Baca juga Pemilih dengan gangguan jiwa di panti Cipayung lancar mencoblos Baca juga Panti lansia Tresna Werdha Bogor dinilai tidak layakPewarta Anita Permata DewiEditor Andi Jauhary COPYRIGHT Š ANTARA 2021 Penyandangdisabilitas mental mengantri saat akan makan siang di Panti Rehabilitasi Orang dengan Gangguan Jiwa. Foto: Tahta Aidilla/Republika REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penyandang Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) berat di Kota Bandung pada 2019 mencapai 3,270 jiwa atau 91 persen lebih dari angka total yang diestimasikan Kementerian KesehatanKlinik Jiwa Dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat JL Bumi Serpong Damai, Sektor Serpong, Tangerang Selatan, Komplek Taman Salvia, Blok BN, Tangerang, Banten, IndonesiaKeperawatanjiwa dimulai antara tahun 1770 dan 1880 seiring dengan kejadian penanganan pada seorang penyakit mental. Sebelumnya, pada masa peradaban dimana roh-roh dipercaya sebagai penyebab gangguan dan mengusirnya agar sembuh. Para leluhur Yunani, Romawi dan Arab percaya bahwa gangguan emosional diakibatkan tidak berfungsinya organ pada otak. Kami ijin share kembali Dok Seputar Psikiatri, Psikiater, dan Psikologi Hari ini saya kembali lagi dengan artikel saya dalam seri tulisan mengenai lama minum obat pada berbagai gangguan psikiatri. Fokus pembahasan dalam artikel kali ini adalah lama minum obat pada gangguan cemas. Bila Anda membutuhkan informasi mengenai lama minum obat pada skizofrenia maka Anda dapat mengaksesnya di sini. Informasi lama minum obat pada gangguan depresi, dapat Anda temukan di sini. Dan yang terakhir informasi untuk lama minum obat pada gangguan bipolar dapat Anda akses di sini. Seperti sebelumnya, kembali kita mereview sedikit tentang gangguan cemas. Secara umum jenis yang paling sering ditemukan di masyarakat adalah Gangguan Cemas Menyeluruh dan Gangguan Panik. Gangguan Cemas Menyeluruh ditandai dengan kondisi cemas yang hampir terjadi terus-menerus dengan segala sesuatunya menyebabkan cemas, hal-hal yang dicemaskan biasanya peristiwa atau kondisi sehari-hari. Sedangkan pada gangguan panik, sifat cemasnya terjadi sekali-sekali dan tidak berlangsung lama namun dalam derajat yang berat sehingga orang yang⌠Lihat pos aslinya 258 kata lagi Bila anda atau keluarga anda adalah Orang Dengan Bipolar ODB, tentu anda bertanya-tanya berapa lama anda atau keluarga anda harus minum obat yang diberikan oleh dokter psikiater. Anda dapat membaca informasi terkait di blog edukasi dokter kami, di sini. Seri ke-2 informasi dan edukasi mengenai masa jangka waktu minum obat. Kali ini pembahasan dilakukan untuk gangguan depresi. Anda dapat membacanya selengkapnya di sini. Ini adalah tulisan terbaru saya di blog pribadi saya setelah vakum menulis selama 6 tahun. Tulisan ini ditujukan untuk edukasi pada masyarakat awam terutama Orang Dengan Skizofrenia ODS mengenai jangka waktu minum obat. Anda dapat mengaksesnya di sini. Setelah meninggalkan praktek saya sebagai dokter umum dan berpraktek selama beberapa tahun sebagai dokter spesialis kedokteran jiwa/psikiater, saya merasakan bahwa memberikan terapi psikiatri terkadang lebih sulit jika dibandingkan dengan memberikan terapi terbatas untuk penyakit fisik. Ketika saya masih melakukan pekerjaan saya sebagai dokter umum, seorang pasien yang datang ke tempat praktek saya umumnya datang atas keinginannya sendiri atau minimal tetap ada keinginan untuk mengobati dirinya meskipun diajak oleh orang lain. Sementara ketika saya berpraktik sebagai seorang dokter psikiater, cukup banyak pasien yang datang tidak atas keinginannya sendiri ataupun terpaksa datang karena dirujuk oleh dokter spesialis bidang lainnya. Hal yang membedakan antara pasien psikiatri yang saya contohkan dengan pasien yang datang ke dokter umum atau ke dokter spesialis bidang lainnya umumnya terletak dalam insight/tilikan pasien tentang penyakitnya. Apakah insight itu? Insight/tilikan adalah kesadaran dan pemahaman seseorang tentang kondisi yang dialaminya. Berkenaan dengan bidang medis, insight/tilikan sakit menunjukan seberapa paham dan sadar seseorang mengenai penyakit dan gejala yang dialaminya. Di dalam bidang psikiatri, penilaian terhadap insight/tilikan pasien merupakan salah satu hal yang wajib ketika dokter psikiater membuat diagnosa. Hal ini karena faktor insight/tilikan sangat berpengaruh dalam menentukan keberhasilan terapi psikiatri yang diberikan. Berkaitan dengan terapi skizofrenia, dalam opini saya pribadi, faktor insight pasien merupakan faktor terpenting yang menentukan keberhasilan terapi pada Orang Dengan Skizofrenia ODS. Mengapa demikian? Saya akan membahasnya setelah mengenalkan terlebih dahulu pembagian insight/tilikan sakit seseorang. Pembagian insight Insight pada pasien psikiatri secara sederhana dapat dibagi ke dalam lima tingkatan berikut Insight derajat 1, ketika pasien menyangkal ataupun sama sekali tidak merasa sakit. Insight derajat 2, ketika pasien sedikit menyadari bahwa dirinya sakit dan butuh bantuan namun dalam waktu yang bersamaan juga menyangkal bahwa ia sakit. Insight derajat 3, ketika pasien menyadari bahwa dirinya sakit, namun menyalahkan faktor eksternal, orang lain, masalah medis, atau masalah fisik lainnya sebagai penyebab sakitnya. Insight derajat 4, ketika pasien menyadari gejala yang dialami dan penyakitnya, mengetahui bahwa hal tersebut muncul akibat pola pikirnya sendiri, namun tidak menggunakan pengetahuan tersebut untuk melakukan suatu perubahan di masa depan. Insight ini dikenal sebagai insight intelektual. Insight derajat 5, ketika pasien menyadari sepenuhnya apa yang mendasari gejala yang dialaminya, dan pasien melakukan perubahan pada perilaku dan kepribadiannya untuk mencapai pemulihan, keterbukaan terhadap ide dan konsep baru mengenai dirinya. Insight ini dikenal sebagai insight emosional sesungguhnya. Insight dan Skizofrenia Berdasarkan pembagian insight tersebut, di awal masa sakit biasanya Orang dengan Skizofrenia ODS tidak menyadari bahwa dirinya menderita suatu penyakit. Insightnya berada di derajat 1. Ketika insight masih berada di derajat 1, maka pengobatan terhadap kemudian menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini, selain masalah stigma dan pengobatan ke dokter jiwa. Pertama, skizofrenia ataupun gangguan jiwa lainnya tidak menyebabkan perubahan ataupun gangguan fisik, karena konsep sakit senantiasa dikaitkan dengan masalah kesehatan jasmani ketika tidak ada masalah fisik, maka tidak ada penyakit. Kedua, gejala yang dialami dalam skizofrenia, dirasakan secara nyata oleh orang tersebut. Contohnya ketika seorang penderita skizofrenia mengalami gejala halusinasi dengar berupa suara orang yang menyuruh-nyuruhnya, maka pasien tidak akan mampu membedakan suara halusinasi dengan suara yang benar ada sumbernya di dunia nyata. Hal ini akan menyebabkan orang yang mengalaminya merasa hal tersebut merupakan suatu hal yang nyata. Untuk membaca selengkapnya mengenai gejala pada skizofrenia, Anda bisa membacanya di sini. Insight derajat 1 inilah yang pada akhirnya menyebabkan pasien tidak mau untuk diajak berobat sementara minum obat anti psikotik dan konsultasi dengan dokter psikiater ataupun psikolog klinis merupakan hal yang penting dalam pemulihan pasien dengan skizofrenia. Jikapun pasien akhirnya dapat dibawa secara paksa oleh keluarga untuk berobat, sering kali pasien kemudian menolak untuk minum obat, menolak konsultasi ulang dengan dokter psikiater ataupun psikolog. Ketika gejala sudah menghilang, pasien kemudian juga sering memutuskan untuk tidak minum obat lagi yang akhirnya berujung pada kekambuhan gejala. Bila pun keluarga sudah menyadari pentingnya pengobatan pada skizofrenia, sering kali keluarga harus sembunyi-sembunyi dalam memberikan obat selama insight pasien tetap buruk. Berdasarkan hal-hal yang telah dituliskan, maka meningkatkan insight setidaknya hingga derajat 3 merupakan target terapi yang juga sangat penting disamping menghilangkan gejala yang dialami pasien. Ketika seseorang sudah menyadari bahwa dirinya memang sakit atau menderita suatu gejala tertentu, maka penolakan terhadap terapi menjadi lebih minimal. Tentu tetap saja yang diharapkan adalah insight dapat meningkat hingga derajat 5, pada tahapan ini pasien sendiri yang biasanya akan aktif mencari bantuan untuk pemulihan dirinya. Bila Anda ataupun keluarga Anda merupakan ODS, maka berdiskusilah dengan dokter Anda mengenai hal ini. Tanpa didukung peningkatan insight maka sering kali pasien skizofrenia mengalami kekambuhan gejala dalam masa perjalanan hidupnya. Semakin sering gejala kambuh maka target pemulihan akan menjadi semakin sulit tercapai. Hal ini lah yang ingin kita hindari bersama. Semoga artikel ini dapat bermanfaat. Untuk mempermudah menemukan alamat kami, dapat melihat Google Map dengan link berikut Tulisan ini merupakan tulisan pindahan dari blog lama saya. Anda dapat mengaksesnya di sini. Nyeri sering dianggap hanya merupakan gejala sakit dan abnormalitas dari fungsi tubuh tertentu. Sebenarnya nyeri juga dapat timbul akibat konflik-konflik psikologis yang tak terselesaikan dengan baik yang dikenal sebagai nyeri psikogenik. Penelitian oleh para ahli di bidang psikosomatik menunjukan bahwa selain dipengaruhi oleh kondisi nyata gangguan fisik dan kondisi jiwa, nyeri juga terpengaruh kuat oleh kondisi emosi, fungsi kognitif, dan faktor-faktor sosial yang menimbulkan serta mempertahankan rasa nyeri. Penelitian juga menunjukan bahwa respon setiap orang sangat bervariasi dan sangat personal dalam menyikapi rasa nyeri. Penting untuk membedakan antara nyeri yang murni somatik bersumber pada masalah fisik dan nyeri yang terpengaruh faktor psikologis. Serta mengetahui bagaimana kedua kondisi tersebut saling mempengaruhi baik dalam hal gejala maupun tata laksananya. Ilustrasi Kasus Pasien pria 28 tahun dikonsultasikan dari bagian Penyakit Dalam di unit rawat inap kepada saya di suatu RS. Ia mengatakan sudah menderita sakit kepala hebat sekurangnya empat tahun terakhir. Awalnya ringan, hanya dirasakan sesekali dalam satu bulan dan jika hendak kambuh, tandanya dapat dikenali pasien. Sakit bertambah parah bila pasien mengalami masalah pribadi atau tertekan secara mental meskipun pasien menyangkal adanya perasaan tidak nyaman dengan masalah-masalah yang dihadapinya. Sejak tiga tahun yang lalu, pasien sudah berkeliling ke banyak dokter terutama spesialis syaraf namun tidak pernah ada yang bisa memberikan diagnosis pasti. Pasien yakin bahwa ada kelainan fisik di daerah kepalanya karena sakit terus memberat. Semakin lama sakit menyebar hingga ke seluruh kepala bagian kanan dan tidak bisa lagi dirasakan secara tepat di daerah mana paling berat. Kadang sakit dirasakan sangat berat hingga pasien meminta obat-obat penghilang rasa sakit dari rumah sakit baik obat minum hingga obat suntik. Jika sudah disuntik, pasien akan langsung tertidur dan ketika bangun, sakit sudah hilang dan pasien dapat beraktivitas seperti biasa. Hal ini terus berlangsung dan semakin memberat hingga pasien tidak dapat lagi bekerja. Dua minggu sebelum dirawat, sakit dirasakan sangat hebat. Pasien tidak dapat lagi mengenali gejala kekambuhannya, sakit bisa tiba-tiba muncul begitu saja. Pasien sering menangis dan sering membenturkan kepalanya ke dinding karena tidak dapat menahan rasa sakit yang timbul. Obat suntik yang biasa digunakan juga sudah tidak mempan lagi. Sakit kepala juga berlangsung lama sekali, satu hingga dua jam. Jika sudah reda, pasien dapat kembali beraktivitas seperti biasa. Frekuensi dalam satu hari meningkat menjadi sangat sering sehingga pasien nyaris tidak bisa melakukan apa-apa. Sakit kepala bertambah berat bila pasien tertekan secara emosional. Hal ini menyebabkan rasa sedih dan kecemasan pada pasien.. Selama dirawat tetap terjadi kekambuhan walau sudah diberikan banyak obat. Hasil pemeriksaan dari bagian saraf, bagian mata, bagian penyakit dalam, pemeriksaan laboratorium dan MRI menunjukan hasil normal. Dari pemeriksaan psikiatrik terlihat adanya tanda-tanda depresi atipikal, kesulitan pengontrolan emosi, dan konflik yang berat dengan keluarga. Pasien kemudian mendapatkan terapi obat antidepresan dan psikoterapi selama beberapa waktu dengan fokus perbaikan mengatasi masalah. Perbaikan kemampuan coping dan kemampuan mengendalikan emosi sejalan dengan penurunan dari rasa sakit kepala yang diderita oleh pasien. Apa itu nyeri psikogenik? Nyeri psikogenik adalah nyeri yang dirasakan secara fisik yang timbulnya, derajat beratnya, dan lama berlangsungnya dipengaruhi oleh faktor mental, emosi, dan perilaku. Beberapa penelitian klinis menunjukan bahwa induksi nyeri secara sengaja pada seseorang akan memberikan hasil rasa nyeri yang tidak terlalu signifikan jika orang tersebut sedang berada dalam kondisi psikologis yang baik, tenang, damai, bahagia. Nyeri umumnya dirasakan lebih berat ketika seseorang mengalami gangguan psikiatri tertentu terutama depresi ataupun cemas. Nyeri psikogenik yang murni psikologis umumnya ditandai dengan rasa nyeri yang menyebar, tidak terbatas pada suatu letak anatomis tertentu, dan tersebar pada banyak lokasi. Nyeri timbul tanpa adanya riwayat trauma fisik yang jelas sebelumnya atau timbul tanpa sebab. Pemeriksaan fisik, laboratorium, rontgen, hingga CT Scan, dan penunjang lainnya tidak dapat menunjukan adanya suatu masalah organ atau gangguan fisik tertentu. Nyeri tidak dapat hilang sepenuhnya atau seluruhnya walaupun sudah mendapatkan obat penghilang nyeri bahkan yang diberikan langsung ke dalam pembuluh darah intra vena. Emosi dan motivasi merupakan isu pokok yang mendasari timbulnya nyeri. Diagnosis Diagnosis yang akurat memerlukan pemeriksaan neurologis dan psikiatrik secara menyeluruh. Diagnosis nyeri psikogenik harus didasarkan atas adanya faktor psikologis yang jelas yang berhubungan dengan rasa nyeri tersebut atau diketahui kondisi psikiatri yang jelas yang mungkin berhubungan dengan rasa nyeri. Jadi diagnosis tidak semata-mata ditegakan bila tidak ditemukannya dasar organik sebagai penyebab nyeri. Meski nyeri psikogenik juga dapat menyertai suatu sakit fisik yang nyata. Pasien yang sering mengeluhkan sakit kepala berulang atau sakit bagian tubuh lain berulang terutama ketika terdapat kondisi stres tertentu, banyak yang sebetulnya menderita nyeri psikogenik ini. Penyebab Di dalam ilmu psikiatri, nyeri psikogenik merupakan suatu mekanisme coping yaitu mekanisme adaptasi mental yang digunakan oleh seseorang dalam menghadapi masalah. Nyeri timbul akibat penekanan konflik psikis yang tidak dapat ditolerir. Penekanan konflik psikis ini memicu keluarnya hormon stres di dalam tubuh yang memicu perubahan sistem saraf otonom dan hormonal dalam tubuh. Pengaruh dari perubahan inilah yang pada akhirnya memicu timbulnya perasaan nyeri. Nyeri psikogenik juga dapat merupakan gejala dari suatu gangguan psikiatri yang dinamakan kelompok gangguan somatisasi. Pada gangguan ini, nyeri muncul tanpa adanya gangguan sebenarnya pada tubuh. Jadi nyeri merupakan respon secara langsung dari konflik psikologis yang dipindahkan pada tubuh. Secara psikologis, penderita gangguan somatisasi lebih dapat menerima bahwa nyeri yang mereka rasa adalah problem fisik sementara rasa sakit yang mereka rasakan secara psikis disangkal dan dipindahkan pada tubuh. Depresi dan cemas diketahui meningkatkan sensitifitas nyeri. Terutama pada penderita depresi lansia, sangat sering mengeluhkan berbagai problem fisik seperti sakit kepala. Pada pasien yang baru melewati operasi, beratnya gejala nyeri sudah dibuktikan bergantung dari derajat kecemasan pasien tersebut. Nyeri psikogenik yang ditemukan bersamaan dengan gangguan atau kondisi psikiatri tertentu harus dieksplorasi dengan lebih baik, selain untuk mencari penyebab dari nyeri, juga untuk menentukan tatalaksana yang tepat. Stigma pada Nyeri Psikogenik Para penderita nyeri psikogenik umumnya mengalami stigma baik dari kalangan medis sendiri maupun masyarakat umum. Mereka memandang bahwa rasa nyeri yang timbul dari konflik psikologis ini tidaklah nyata bila dibandingkan rasa nyeri yang timbul akibat kelainan organ atau fungsi anatomis dan fisiologis tubuh. Para penderita nyeri psikogenik sering dianggap berpura-pura dan akhirnya tidak diberikan penatalaksanaan yang tepat. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi ini menyebabkan tatalaksana tidak maksimal. Model biopsikososial menunjukan bahwa dalam terapinya, bukan hanya pasien saja yang menjadi fokus terapi namun lingkungan sosial dan keluarga inti perlu dilibatkan dalm proses terapi Tatalaksana Nyeri Psikogenik Tatalaksana nyeri psikogenik tidak dapat hanya mengandalkan pada terapi farmakologis semata-mata namun amat perlu ditunjang dengan tatalaksana secara non farmakologis. Terapi non farmakologis terutama terpusat pada psikoterapi yang lebih berorientasi pada psikodinamika pasien ataupun psikoterapi CBT. Hal ini disebabkan karena nyeri muncul akibat konflik-konflik psikologis yang tidak terselesaikan dengan baik. Penanganan pasien dengan nyeri psikogenik, memerlukan ketelitian lebih dari dokter pemeriksa. Pasien dengan nyeri psikogenik biasanya akan memaksaâ dokter untuk melakukan pemeriksaan medis berulang mulai dari pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang. Pasien akan terus berusaha mendapatkan penjelasan mengenai gejala-gejala yang dialaminya dan hal ini dapat membuat frustasi baik pasien sendiri maupun dokter pemeriksa. Pada kondisi yang berat, dapat terjadi kondisi di mana pasien akhirnya mendapatkan tindakan operatif berulang akibat nyeri yang dirasakannya yang sebetulnya tidak tepat. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengeksplorasi faktor psikologis sebagai dasar dari kondisi nyeri tersebut. Dalam tatalaksana juga sangat penting untuk tidak memberikan kesan pada pasien bahwa nyeri yang dirasakannya hanyalah âkhayalanâ semata dan dokter harus menunjukan empati bahwa rasa nyeri tersebut memang nyata. Tatalaksana nyeri lebih dipusatkan pada perbaikan mekanisme coping pasien. Bila nyeri psikogenik merupakan bagian dari suatu diagnosis psikiatrik tertentu maka terapi difokuskan pada kondisi psikiatrik utama yang menjadi sumber timbulnya rasa nyeri. Jika nyeri merupakan bagian dari kondisi depresi yang terselubung yaitu kondisi depresi tanpa ditemukannya gejala mood depresi dan gejala-gejala lainnya maka pemberian antidepresan akan menjadi terapi pilihan utama. Sedangkan dalam kondisi yang jarang, nyeri dapat juga dialami sebagai bagian dari gejala halusinasi pada psikotik maka pada kondisi ini, terapi farmakologis dengan antipsikotik menjadi pilihan yang utama. Ditulis Oleh Maria Ayuningtias, Psi. Psikolog Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat Temper Tantrum adalah Letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada usia pra sekolah 2-4 tahun Perilaku marah ini dapat terdiri dari gabungan tingkah laku menangis, menjerit, berbaring di lantai, melempar barang, menahan napas, memukul, dan berguling-guling di lantai, serta menyepak atau menolak beranjak dari tempat tertentu. MENGAPA TERJADI TEMPER TANTRUM? Anak merasa lepas kendali, karena merasa sedang kacau, bingung, atau merasa ada keinginannya yang tidak terpenuhi. Biasanya, anak belum mampu menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan rasa marah dan rasa frustasinya. Anak belum mengenal konsep ânantiâ, sehingga tidak dapat menunda atau menunggu pemenuhan keinginannya. Karena keinginannya tidak terpenuhi, ia merasa tidak puas dan menjadi frustrasi. KONDISI SEPERTI APA YANG MENYEBABKAN ANAK MENGALAMI TANTRUM? Salah satunya ketika anak merasa diabaikan. Saat orang tua atau pengasuh sibuk dengan aktivitas lain, dan tidak mempunyai waktu untuk memberikan perhatian kepada anak. Sebenarnya, yang dibutuhkan anak bukan hanya sekadar kehadiran, tetapi keterlibatan orang tua atau pengasuh di dalam kegiatannya. BEBERAPA HAL YANG DAPAT DILAKUKAN KETIKA ANAK TANTRUM ⢠Jangan memberinya perhatian berlebihan, abaikan anak, dan tetap lalukan kegiatan anda. ⢠Berdiam diri tetap tenang, berjalan menjauhinya, memandangnya tanpa emosi sampai anak lebih tenang. ⢠Memegang atau mendekap anak dengan kuat tanpa mencederainya, agar ia merasa aman jangan memukul atau memaki anak anda ⢠Mengalihkan perhatian anak, misalnya dengan menciptakan suasana humor atau melibatkan anak ke dalam aktivitas lain ⢠Pahami dan temukan penyebab kemarahan anak anda. ⢠Berikanlah pujian, dan penghargaan ketika perilaku tantrum telah berhenti. ⢠Jangan menyerah dengan kemarahan anak anda, jika anda menyerah, maka perilaku tantrumnya akan semakin menguat, dan diulang di kemudian hari. APA YANG AKAN TERJADI JIKA TANTRUM TERUS BERLANJUT ? ⢠Anak akan belajar bahwa dengan perilaku tantrum, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Maka ia akan terus menerus mengulang perilaku tersebut. ⢠Anak tidak belajar tentang kedisiplinan. ⢠Kemarahan anak akan bertambah hebat, dan semakin meningkat ⢠Anak hanya akan menunjukkan kemarahannya ketika ada orang-orang lain di sekitarnya Ditulis Oleh Maria Ayuningtias, Psi. Psikolog Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat Ilustrasi Kasus A adalah seorang anak laki-laki berusia 6 tahun yang duduk di bangku kelas 1 SD. Ketika pertama kali datang pada saya, A dikeluhkan oleh orang tua, dan guru lesnya karena mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam jangka waktu yang panjang, dan mudah lupa tentang sesuatu terutama yang berkaitan dengan pelajaran. Ia juga mengalami kesulitan dalam pelajaran dikte spelling dan mengeja, serta kesulitan mengerjakan tugas di sekolah yang berkaitan dengan tulis menulis jika tidak didampingi oleh orang lain. Saat di sekolah, A kesulitan ketika menjawab pertanyaan dalam bentuk tulisan, tetapi ketanya ditanya secara lisan, ia mampu menjawab dengan benar. Hal tersebut mulai nampak ketika A berada di Taman Kanak-Kanak, dan semakin bertambah âparahâ ketika A duduk di bangku Sekolah Dasar, karena tuntutan yang lebih banyak untuk menulis. Contoh kesulitan yang dialami oleh A ⢠Ketika pelajaran dikte, A sering salah menulis. Contohnya menulis CAT kucing dalam bahasa Inggris menjadi ď ACT menulis OWL burung hantu dalam bahasa Inggris menjadi ď MOL ⢠A sering tertukar saat menulis huruf b dengan huruf d, sering salah membedakan antara q dan p, m dan w, dan sebagainya. Hasil tes IQ menunjukkan taraf intelegensi A yang berada pada taraf rata-rata atas. Dari hasil asesmen dengan orang tua , didapatkan pula data bahwa A mengalami keterlambatan berbicara sewaktu kecil. Mengenal Disleksia Kata disleksia berasal dari bahasa Yunani, yaitu berasal dari kata âdysâ yang berarti kesulitan, dan kata âlexisâ yang berarti bahasa. Disleksia yang secara harafiah berarti âkesulitan dalam berbahasaâ merupakan suatu kesulitan belajar spesifik yang ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat, kesulitan dalam membaca, kesulitan dalam mengeja, kesulitan dalam menulis dan kesulitan dalam beberapa aspek bahasa yang lain. Seringkali ditemui, anak dengan disleksia memiliki prestasi yang buruk di sekolah, meski hasil tes IQ tes kecerdasan menunjukkan IQ rata-rata atau bahkan di atas rata-rata. Beberapa ahli menganggap disleksia baru dapat ditegakkan pada usia 6-7 tahun, ketika anak menginjak bangku Sekolah Dasar. Hal tersebut dikarenakan pada usia Taman Kanak-Kanak, orang tua mau pun guru menganggap âwajarâ ketika seorang anak sering terbalik menulis beberapa huruf, kesulitan membedakan huruf-huruf yang mirip, kesulitan menggunakan huruf besar dan kecil sesuai dengan tata cara yang benar, dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa kasus, individu dengan disleksia tidak terdeteksi hingga usia dewasa. Mengenali Tanda-tanda Awal Disleksia Disleksia sering terlupakan, atau terlambat untuk di deteksi. Bahkan seringkali orang tua atau guru menganggap anak dengan disleksia adalah anak yang malas, anak yang bermasalah, hingga diberi label âanak yang bodohâ. Beberapa tanda-tanda yang sering ditemui untuk deteksi dini disleksia Sumber Referensi Disleksia Today Genius Tomorrow 1. Adanya riwayat keluarga dekat yang juga mengalami hal yang sama 2. Mengalami keterlambatan bicara. 3. Kesulitan menemukan istilah yang tepat dalam berkomunikasi. Misalnya mengatakan kata âtebalâ untuk menjelaskan kata âdalamâ. 4. Kesulitan membedakan kiri dan kanan secara tepat. 5. Rentang konsentrasi yang singkat. 6. Daya ingat yang pendek. 7. Kesulitan memahami persoalan yang membutuhkan logika bahasa. 8. Berbicara terkadang gagap, atau tidak runtut ketika menceritakan tentang sesuatu. 9. Tertukar huruf yang mirip mirror image, angka dan huruf yang mirip. Cotoh b dengan d atau sebaliknya , p dengan q atau sebaliknya, 5 dengan z atau s, 9 dengan 6 atau sebaliknya. Dampak Keterlambatan Diagnosa atau Penanganan Disleksia Banyak penelitian menunjukkan bahwa semakin dini deteksi disleksia, dan semakin dini pemberian intervensinya maka prognosisnya perkembangan kedepannya akan semakin baik. Sebaliknya ketika terjadi keterlambatan penanganan disleksia, akan berdampak pada gangguan sosial mau pun gangguan emosi. Anak mau pun remaja yang âterlewatâ dari deteksi disleksia dapat menjadi individu yang kurang percaya diri karena merasa tidak pintar dibanding teman-temannya, mudah marah, dan sebagainya. Individu dengan disleksia bukan berarti tidak dapat meraih kesuksesan di kemudian hari, jika ditangani dengan tepat. Beberapa orang terkenal juga banyak yang mengalami disleksia, antara lain Lee Kuan Yew, Albert Einsten, Agatha Christie, dan masih banyak lagi. Yang harus dilakukan Sekali lagi deteksi dini sangatlah penting untuk dilakukan. Jadi jika anda, orang yang anda kenal atau anak Anda terlihat memiliki tanda-tanda yang telah dipaparkan diatas, jangan tunda lagi! Segera berkonsultasilah kepada profesional untuk membantu anda. Semoga Bermanfaat! Beberapa materi di dapatkan dari sumber referensi Disleksia Today Genius Tomorrow â Solek K dan dr. Kristiantini Dewi Ditulis oleh Irma,SpKJ Psikiater Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat Apa itu gangguan obsesif kompulsif? Gangguan obsesif kompulsif termasuk dalam kelompok gangguan cemas. Obsesif sendiri merupakan suatu pikiran yang sifatnya berulang-ulang, sangat sulit untuk dikendalikan dan terus-menerus muncul di dalam pikiran penderitanya. Pikiran ini dapat hanya merupakan suatu bayangan atau keinginan melakukan sesuatu atau dapat juga berupa kalimat atau kata-kata. Sementara kompulsif adalah tindakan yang dilakukan untuk meredakan kecemasan yang ditimbulkan oleh pikiran obsesif sehingga kecemasan itu dapat dikurangi. Umumnya di awal masa gangguan, pasien masih mampu menangani pikiran tersebut dan menyadari bahwa pikiran obsesif yang dialaminya bersifat tidak berdasar sehingga biasanya pikiran tersebut berusaha ditekan atau dibiarkan saja namun bila mana akhirnya kecemasan yang ditimbulkan pikiran obsesif semakin meningkat, maka disitulah biasanya muncul suatu perilaku kompulsi. Seorang pasien saya misalnya, terus-menerus menghitung tiang listrik sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor. Pikiran ingin menghitung tiang listrik merupakan pikiran obsesif dan ketika pasien saya kemudian mulai benar-benar menghitung maka di situ muncul perilaku kompulsif. Pasien saya yang lainnya perlu mencuci tangan hingga sekitar 20 kali atau lebih setiap melakukan sesuatu yang menurutnya dapat menyebabkan tangannya kotor dan bila mana tidak dilakukan dapat menimbulkan kecemasan luar biasa di dalam dirinya. Pikiran bahwa tangannya kotor adalah pikiran obsesif sementara perilaku mencuci tangan adalah perilaku kompulsif. Mengapa akhirnya disebut gangguan? Karena pada taraf tertentu kondisi obsesif kompulsif yang dialami akhirnya dapat menyebabkan pasien mengalami gangguan dalam kegiatannya sehari-hari baik dalam bekerja, bersekolah, ataupun bersosialisasi. Sering pasien obsesif kompulsif juga kemudian menderita depresi berkepanjangan akibat merasa stres dengan kondisi yang dialaminya. Banyaknya orang yang mengalami gangguan ini adalah sekitar 2 hingga 3 persen. Sering tertukar dengan kepribadian obsesif kompulsif. Pada pria biasanya gejala berawal di usia yang lebih muda dibandingkan pada wanita. Apa yang menyebabkan? Seperti gangguan psikiatri lainnya, faktor biopsikososial diduga menjadi penyebab timbulnya gangguan ini. Secara biologis gangguan ini diduga timbul akibat adanya sistem pengaturan neurotransmiter serotonin yang bermasalah disregulasi serotonin. Hal ini dibuktikan terutama karena nyatanya gejala obsesif kompulsif dapat dikontrol dengan baik dengan pemberian obat anti depresan golongan SSRI Selective Serotonin Reuptake Inhibitor. Selain itu terbukti bahwa pemberian obat memiliki efektivitas yang lebih unggul dibandingkan dengan metode terapi lainnya dalam mengatasi gangguan obsesif kompulsif. Faktor lain yang diduga terkait dengan gangguan ini adalah faktor genetik dan psikososial. Pada faktor psikososial, diduga berkaitan dengan pembiasaan perilaku dalam mengatasi hal-hal yang sifatnya menimbulkan kecemasan. Diduga pula merupakan suatu mekanisme pertahanan mental dalam mengatasi hal-hal yang menimbulkan kecemasan. Gejala klinis Umumnya pasien datang dengan gambaran lengkap pikiran obsesif dan perilaku kompulsif namun ada pula pasien yang hanya mengalami salah satu dari gejala pikiran obsesif atau perilaku kompulsif. Pada beberapa pasien, dapat muncul perasaan malu yang luar biasa dengan kondisinya karena pikiran-pikiran yang muncul dapat berupa pikiran âterlarangâ bagi pasien sendiri. Terapi Hingga saat ini pemberian obat antidepresan golongan SSRI masih menjadi pilihan terbaik. Pada beberapa kasus diperlukan kombinasi dengan obat antipsikotik untuk mengatasi gejala. Psikoterapi berupa terapi perilaku dapat membantu terutama dalam mengendalikan stresor ataupun menurunkan rasa malu yang timbul akibat kondisi sakit yang dialami. GwjgdqK.